Ayo Gabung!

AYO GABUNG: Dokter_Mandiri_Sejahtera

Powered by us.groups.yahoo.com

Monday, April 15, 2013

Fokus ke "Mutu"


Kalau saja kita mengartikan hubungan kerja ini dalam perspektif bisnis murni, maka posisi kita adalah “seller” pihak lain apakah pemerintah, BPJS, rumah sakit, klinik, pasien semuanya adalah “buyer”. Disatu pihak/seller menyediakan jasa layanan kesehatan, dilain pihak/buyer membutuhkan layanan kesehatan.

Posisi setara antara individu2 tersebut, hubungan keperdataan, tidak bisa saling memaksa. Kita mempunyai kualifikasi sebagai seller (ada Ijazah Dokter,  STR, SIP, Kompetensi SKDI, standar2 terpenuhi) dan mempunyai hak kerja 40 jam/minggu, untuk layanan tersebut ada harga wajar yang menurut IDI, 2008 adalah Rp 27 -38 juta/bulan untuk dokter umum atau kalau mau dihitung harga per jam: Rp 170.000/jam.

Kita baru bisa klaim harga demikian bila kualitas kita sesuai, jadi perlu sekali menentukan kualitas tersebut (sekarang dengan SKDI 2012 relatif lebih mudah, ini dulu coba uji diri, berapa persen kompetensi kita?). Kalau kurang maka harus ada penyesuaian tentunya, artinya mutu kurang harga kurang. Yang menjaga mutunya dan menyatakan mutunya sekian siapa?. Ya organisasi profesi (Dalam hal kita: IDI) Kalau “buyer” mau membeli jasa “seller” lebih rendah, ada beberapa pilihan: 1. Menolak, tidak jadi PNS, Askes, atau apapun yang tidak sesuai dengan harga kita. 2. Menerima karena mungkin berjiwa sosial, sudah kaya atau terpaksa tak ada pilihan lain. Bagi yang menolak tentu bisa mencari pasar lain yang sesuai, misalnya pasien menengah ke atas bukan masuk ke low socioeconomic class.

Nah, untuk kategori menerima dengan terpaksa, kita tidak bisa berjuang sendiri harus ber-sama2 itulah salah satu peran organisasi yang saya sebut peran Politik/pertarungan kekuasaan, sama seperti peran serikat buruh. Mengapa demikian? Karena menghadapi kekuatan besar tidak bisa sendiri2. Ini juga peran IDI.

Apakah ada cara lain? Ada, yaitu jalan ekonomi. Pendapatan Rp 27-38 juta itu sejatinya adalah saldo dari penerimaan – pengeluaran. Dalam ekonomi ada efisiensi yang artinya menekan pengeluaran sehingga saldo membesar. Bisa diperankan oleh individu maupun ber-sama2, salah satu contohnya adalah koperasi.

Demikian pendapat saya, mengapa kita harus kuat di posisi “seller” dulu.

Friday, April 12, 2013

Gonjang-ganjing Premi BPJS

Yang banyak disorot dan dikhawatirkan adalah besaran PBI (penerima bantuan iuran) alias orang miskin yang 86 juta (dan akan menurun sesuai dengan tingkat kemakmuran negara). Sisanya pegawai negeri, buruh, tani, TNI, polisi,  pegawai BUMN, sektor informal, pensiunan, veteran, dlsb ada lebih 100 juta penduduk. Ini preminya bervariasi dan besar2. BPJS adalah bandar (pool) saja yang ngumpulkan premi, berapa besarnya uang yang terkumpul di pot itu yang perlu dicermati.

Kita sebagai dokter jangan membicarakan uang, tapi kukuh pada kualitas layanan yang dicerminkan dalam kompetensi, credentialing, audit medik, keterampilan klinis, standarisasi pelayanan, sarana, prasarana, peralatan, obat rasional, evidence based, kriteria rujukan dan semua hal yang terkait dengan profesionalitas.

Kalau jualan mobil kita mesti tetap dijalur premium "mercedes", nah untuk itu ada harga, ada biaya. Itulah yang dinegosiasikan antara "mutu" (dokter) dan "pot" (BPJS). Pasti ada tarik ulur, Pemerintah lah yang akan jadi wasit karena keduanya kan rakyatnya juga, rakyat dokter dan rakyat pasien/penduduk.

Mari benahi dan konsentrasi di domain kita saja, SKDI keluaran KKI, 2012, coba ukur sudah dimanakah dokter umum kita (Level 4A)? Pilot juga ada setrip 1, 2, 3, 4 beda2 kompetensi dan beda2 pula imbal jasanya. Dokter umum juga begitu 70, 80, 90, 100% SKDI? Jangan ngarep dibayar pilot boeing 747 kalau kompetensinya cuman fokker 28

Tuesday, April 02, 2013

Potret Muram Dokter Indonesia


Sudah beberapa tahun saya mengikuti milis kelompok dokter dan aktif menulis sesuai hati nurani saya. Dan potret muram terlihat jelas, keluh kesah, sumpah serapah, pesimisme, hilang harapan, kekecewaan, ketidakberdayaan dan hidup yang negatif2 terhambur luas. Menurut saya, itu baik untuk menjadi otokritik dan katarsis dari situasi mumet ini: HDI rendah, sekolah mahal, lulusan tak standar, IDI kacau, lemah, tidak membela anggota, muktamar amburadul, imbal jasa sesek, SJSN/BPJS pbi rendah, dianggap teroris, lebih rendah dari polantas, tidak beretika, malpraktik, tidak menolong orang miskin, ngambil duit dari kelas 3, pasien terlantar, ditolak rumah sakit, rujukan tidak jalan, kongkalikong dengan farmasi, laboratorium, alkes, masuk bui/kpk, uang konsil menguap, pasien ke singapur, dokter tak bisa komunikasi, kurang public relation, rokok merajalela, tidak diratifikasi konvensi tembakau, ngobral janji pengobatan gratis, TB tinggi, HIV/AIDS meningkat, narkoba di-mana2, banjir, macet, korupsi, ..., ...., ....

Kalau diagnosis-nya seperti ini, apa treatment-nya, apa kita biarkan saja karena prognosisnya dubia ad malam?

Menunggu "sang tokoh yang dijanjikan" sudah tidak jamannya lagi, bagusnya mulai berpikir positif (setelah tahu semua yang negatif itu) dan kerjakan saja yang memungkinkan kita ubah kearah yang baik. Mulai menulis yang positif di milis ini dan gotong-royong ke arah kebajikan barangkali sudah bisa kita mulai dari milis ini maupun dengan perbuatan nyata, walaupun kecil2 tidak fantastis. Yakinlah dari 120.000 dokter, pasti lebih banyak yang bekerja tekun tanpa haru-biru, berkarya terus dan memegang etika. Se-kali2 mungkin terombang-ambing, biasa karena kita bukan malaikat. Tak ada seorang pun dokter yang mau mencelakakan pasiennya. Hantaman kejam akhir2 ini, semoga makin memperkuat kita para dokter untuk terus berbuat kebajikan untuk kesehatan seluruh bangsa.