Naskah tulisan ini diselesaikan sekitar tahun 2004, arsipnya dapat dilihat di http://www.plattelandalliantienederland.nl/johilgers/
Kita bergembira karena Wallaceae Institute sekarang telah berdiri di Universitas Hasanuddin, Makassar. Berikut saya copy dalam blog ini sebagai penghormatan atas wafatnya teman baik saya Dr. Jo Hilgers tanggal 29 Desember 2007 di Leusden, Belanda:
*****
Antara tahun 1854 1862 seorang ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace (1823 - 1913) melakukan ekspedisi di nusantara (Indonesia dan Semenajung Malaya) mengumpulkan berbagai binatang. Terkumpul sebanyak 125.660 spesimen yang terdiri atas 310 mamalia, 100 reptilia, 8.050 burung, 7.500 kerang, 13.100 lepidoptera, 83.200 coleoptera dan 13.400 insekta lainnya.
Dari koleksi tersebut, Wallace melihat kesamaan jenis binatang antara zona barat dengan jenis binatang Asia dan zona timur dengan Australia. Kedua zona tersebut dipisahkan oleh suatu garis imajiner yang sekarang kita kenal sebagai Garis Wallace. Garis imajiner ini terletak antara Bali dan Lombok memanjang ke utara membelah Kalimantan dan Sulawesi. Zona barat dikenal juga zona Indo-Malayan (Jawa, Sumatera, Kalimantan) dengan jenis binatang Asia semisal monyet, harimau, gajah. Sedangkan zona timur (Papua dan beberapa pulau sekitarnya) dengan binatang marsupial (kanguru, kuskus) sama seperti binatang benua Australia. Di antara kedua zona tersebut terdapat zona transisi dimana terlihat binatang unik yang tidak ada di belahan Asia maupun Australia misalnya babi rusa, anoa di Sulawesi.
Dari koleksi Wallace tersebut yang sekarang tersimpan di British Museum, London, ribuan peneliti dalam rentang waktu 100 tahun menghasilkan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang mengantar kita ke arah era bioteknologi di abad ini. Dimulai dari koleksi kemudian berkembang ke taksonomi, anatomi, fisiologi, biologi sel dan kemudian biologi molekul hingga bioteknologi seperti yang kita kenal sekarang. Dampak bioteknologi di bidang kedokteran antara lain berkembangnya diagnostik molekuler yang sangat akurat untuk berbagai penyakit, pembuatan obat/vaksin bioteknologi yang lebih efektif dengan efek samping yang lebih rendah, perkembangan terapi gen dan terapi regeneratif yang memanfaatkan sel induk serta berbagai perkembangan lain yang menakjubkan.
Keanekaragaman genom manusia Indonesia sudah kita sadari pentingnya. Lembaga Biologi Molekul Eijkman di Jakarta yang lahir pada tahun 1992 aktif melakukan kegiatan penelitian dengan memanfaatkan besarnya sumber daya genetik manusia (SDGM) Indonesia ini. Selain di Lembaga Eijkman, saat ini koleksi SDGM Indonesia tersebar di berbagai universitas, rumah sakit pendidikan, lembaga penelitian baik di dalam maupun di luar negeri dan di beberapa lembaga penelitian swasta seperti yang kami kerjakan di PT Sanbe Farma, Bandung (Lihat website riset: www.ihdreg.com). Atas ketekunan dan kerja keras para pakar kita: Prof. Sangkot Marzuki (Jakarta), Prof. Abdul Salam Sofro (Yogyakarta), Prof. Sultana Hussein (Semarang) dan pakar lainnya di seluruh Indonesia telah terkumpul sejumlah besar koleksi DNA manusia yang meliputi berbagai jenis penyakit genetik seperti kebutaan, ketulian, kencing manis, penyakit darah talasemia, sindroma fragile-X, penyakit kardiovaskular, kanker keturunan dan lain-lain. Namun demikian masih lebih banyak lagi yang harus kita kumpulkan.
Koleksi DNA Manusia Indonesia
Indonesia dengan luas wilayah 5,2 juta kilometer persegi, dihuni oleh 220 juta manusia tersebar di 13.600 pulau dan terdiri dari 656 etnik/subetnik mulai dari etnik dengan populasi puluhan juta manusia maupun yang hanya beberapa ratus orang saja.
Koleksi lengkap SDGM ini merupakan dasar strategis penemuan gen penyakit, aplikasi medik yang ujungnya penciptaan produk. Saat ini sudah diketahui sekitar 30.000 50.000 gen. Dari koleksi SDGM kita, diperkirakan akan ditemukan sekitar 3.000 4.000 mutasi baru pada gen resesif dan ratusan untuk gen dominan. Mungkin perlu waktu puluhan tahun untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan ini. Berbagai negara seperti Norwegia, Inggris, Cina, Singapura giat memperbesar koleksinya dan punya program nasional masing-masing. Negara-negara maju dengan kekuatan ekonomi raksasanya sudah barang tentu lebih dulu terjun ke arena yang sangat menjanjikan ini. Koleksi awal dapat dimulai dengan menyatukan semua koleksi yang tersebar di berbagai pusat penelitian, universitas, rumah sakit pendidikan di Indonesia maupun luar negeri. Untuk menambah koleksi dapat dimulai dengan mengirim ekspedisi ke berbagai daerah sebagaimana dikerjakan Wallace lebih seratus tahun lampau. Dalam tahun 2003, Dr. Amin Soebandrio (Kementerian Ristek, Jakarta) sudah mulai memasukkan SDGM ini dalam aktivitas eksplorasi keanekaragaman hayati. Koleksi nasional ini sebaiknya dipayungi Undang Undang Perlindungan Sumber Daya Genetik Manusia (UU-PSDGM) yang kabarnya sedang disiapkan.
Bila nanti terwujud, kami mengusulkan namanya: The Wallace Institute. Sebagai sandingan The Eijkman Institute yang sudah kita punya. Kedua institut tersebut akan menjadi monumen bangsa di bidang ilmu pengetahuan. Dari keduanya akan mengalir hasil penelitian yang mendorong perkembangan ekonomi melalui penciptaan paten, produk diagnostik dan obat-obatan serta berbagai teknologi kedokteran lainnya. Christiaan Eijkman pemenang hadiah Nobel 1929 untuk penemuan mengenai hubungan kekurangan vitamin B1 dengan beri-beri bekerja di Indonesia, namanya telah kita abadikan. Sangat pantas bila Alfred Russel Wallace yang juga bekerja di Indonesia (1854 1862) namanya kita abadikan dalam lembaga riset bioteknologi kedokteran prestisius yang mengoleksi semua SDGM kita.
The Wallace Institute diharapkan mempunyai koleksi DNA terlengkap dari SDGM Indonesia untuk berbagai penyakit genetik dan akan menarik para ilmuwan seluruh dunia untuk bekerja bahu-membahu menemukan gen baru untuk menjawab tantangan dunia kedokteran di masa mendatang. Pada akhirnya akan mendorong penciptaan produk, peningkatan ekonomi bangsa yang berbasis ilmu pengetahuan dengan peluang bisnis milyaran dolar.
dr. Kadarsyah, MS dan Dr. J. Hilgers. Sanbe Biotech and Research Division, Bandung, Indonesia
No comments:
Post a Comment