Sudah beberapa tahun saya mengikuti milis kelompok dokter dan aktif
menulis sesuai hati nurani saya. Dan potret muram terlihat jelas, keluh kesah,
sumpah serapah, pesimisme, hilang harapan, kekecewaan, ketidakberdayaan dan
hidup yang negatif2 terhambur luas. Menurut saya, itu baik untuk menjadi
otokritik dan katarsis dari situasi mumet ini: HDI rendah, sekolah mahal,
lulusan tak standar, IDI kacau, lemah, tidak membela anggota, muktamar
amburadul, imbal jasa sesek, SJSN/BPJS pbi rendah, dianggap teroris, lebih
rendah dari polantas, tidak beretika, malpraktik, tidak menolong orang miskin,
ngambil duit dari kelas 3, pasien terlantar, ditolak rumah sakit, rujukan tidak
jalan, kongkalikong dengan farmasi, laboratorium, alkes, masuk bui/kpk, uang
konsil menguap, pasien ke singapur, dokter tak bisa komunikasi, kurang public
relation, rokok merajalela, tidak diratifikasi konvensi tembakau, ngobral janji
pengobatan gratis, TB tinggi, HIV/AIDS meningkat, narkoba di-mana2, banjir,
macet, korupsi, ..., ...., ....
Kalau diagnosis-nya seperti ini, apa treatment-nya, apa
kita biarkan saja karena prognosisnya dubia ad malam?
Menunggu "sang tokoh yang dijanjikan" sudah
tidak jamannya lagi, bagusnya mulai berpikir positif (setelah tahu semua yang
negatif itu) dan kerjakan saja yang memungkinkan kita ubah kearah yang baik.
Mulai menulis yang positif di milis ini dan gotong-royong ke arah kebajikan
barangkali sudah bisa kita mulai dari milis ini maupun dengan perbuatan nyata,
walaupun kecil2 tidak fantastis. Yakinlah dari 120.000 dokter, pasti lebih
banyak yang bekerja tekun tanpa haru-biru, berkarya terus dan memegang etika.
Se-kali2 mungkin terombang-ambing, biasa karena kita bukan malaikat. Tak ada
seorang pun dokter yang mau mencelakakan pasiennya. Hantaman kejam akhir2 ini,
semoga makin memperkuat kita para dokter untuk terus berbuat kebajikan untuk kesehatan seluruh bangsa.
No comments:
Post a Comment