Kalau saja kita mengartikan hubungan kerja ini dalam
perspektif bisnis murni, maka posisi kita adalah “seller” pihak lain apakah
pemerintah, BPJS, rumah sakit, klinik, pasien semuanya adalah “buyer”. Disatu
pihak/seller menyediakan jasa layanan kesehatan, dilain pihak/buyer membutuhkan
layanan kesehatan.
Posisi setara antara individu2 tersebut, hubungan
keperdataan, tidak bisa saling memaksa. Kita mempunyai kualifikasi sebagai
seller (ada Ijazah Dokter, STR, SIP,
Kompetensi SKDI, standar2 terpenuhi) dan mempunyai hak kerja 40 jam/minggu,
untuk layanan tersebut ada harga wajar yang menurut IDI, 2008 adalah Rp 27 -38
juta/bulan untuk dokter umum atau kalau mau dihitung harga per jam: Rp
170.000/jam.
Kita baru bisa klaim harga demikian bila kualitas kita
sesuai, jadi perlu sekali menentukan kualitas tersebut (sekarang dengan SKDI
2012 relatif lebih mudah, ini dulu coba uji diri, berapa persen kompetensi
kita?). Kalau kurang maka harus ada penyesuaian tentunya, artinya mutu kurang
harga kurang. Yang menjaga mutunya dan menyatakan mutunya sekian siapa?. Ya
organisasi profesi (Dalam hal kita: IDI) Kalau “buyer” mau membeli jasa
“seller” lebih rendah, ada beberapa pilihan: 1. Menolak, tidak jadi PNS, Askes,
atau apapun yang tidak sesuai dengan harga kita. 2. Menerima karena mungkin
berjiwa sosial, sudah kaya atau terpaksa tak ada pilihan lain. Bagi yang
menolak tentu bisa mencari pasar lain yang sesuai, misalnya pasien menengah ke
atas bukan masuk ke low socioeconomic class.
Nah, untuk kategori menerima dengan terpaksa, kita tidak
bisa berjuang sendiri harus ber-sama2 itulah salah satu peran organisasi yang
saya sebut peran Politik/pertarungan kekuasaan, sama seperti peran serikat
buruh. Mengapa demikian? Karena menghadapi kekuatan besar tidak bisa sendiri2.
Ini juga peran IDI.
Apakah ada cara lain? Ada, yaitu jalan ekonomi.
Pendapatan Rp 27-38 juta itu sejatinya adalah saldo dari penerimaan –
pengeluaran. Dalam ekonomi ada efisiensi yang artinya menekan pengeluaran
sehingga saldo membesar. Bisa diperankan oleh individu maupun ber-sama2, salah
satu contohnya adalah koperasi.
Demikian pendapat saya, mengapa kita harus kuat di posisi
“seller” dulu.
No comments:
Post a Comment