Ayo Gabung!

AYO GABUNG: Dokter_Mandiri_Sejahtera

Powered by us.groups.yahoo.com

Thursday, February 14, 2013

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KOMITMEN NEGARA AKAN PELAYANAN KESEHATAN BAGI RAKYAT

DISKUSI BULANAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA
KAMIS 14 FEBRUARI 2013
 
"Dokter sejahtera itu penting, namun lebih penting lagi mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan", demikian kata-kata yang diingatkan dalam setiap pembahasan kesiapan SJSN di 2014 di PB IDI. Penekanan akan mutu serta pemerataan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab Negara yang disokong oleh peranan stakeholder di bidang kesehatan seperti Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi kesehatan. Tanggung jawab yang merupakan amanah dari konstitusi UUD 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dari konstitusi tersebut.
Tepat sebulan yang lalu diskusi bulanan dengan tema "Setahun Menjelang Pilpres: Masihkah Kesehatan Rakyat Mendapat Perhatian Pemerintah?" diselenggarakan oleh PB IDI yang menghadirkan beberapa narasumber seperti Buya Safii Maarif, Wakil Menteri Kesehatan, dan Ketua YLKI. Diskusi yang hamper sebagian besar lebih bersifat normatif karena masing-masing pihak masih berharap ada langkah konkrit yang menegaskan komitmen pemerintah. Wamenkes pada saat itu belum menyampaikan hasil final pembahasan akan besaran premi yang dibebankan kepada Negara melalui dana APBN terhadap jaminan kesehatan bagi rakyat miskin atau Penerima Bantuan Iuran (PBI). Besaran yang baru berupa usulan sebesar Rp 22.200,- , yang masih diperdebatkan di internal kementrian kesehatan dan kementerian keuangan.
Saat ini, pemerintah menyampaikan jumlah PBI atau rakyat miskin yang preminya dibebankan kepada dana APBN adalah sebesar 86,4 juta jiwa. Jumlah ini sekitar 20% dari total jumlah penduduk Indonesia. Walaupun angka ini masih memunculkan pertanyaan akan kevalidan pemerintah menetapkan status masyarakat miskin tersebut. Namun di luar itu, jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin menjadi prioritas karena memang tidak ada lagi pihak yang harus bertanggungjawab terhadap kondisi rakyatnya selain pemerintah.
Rakyat miskin adalah guru bagi dokter, karena tidak akan bisa seorang dokter mempraktekkan ilmunya ketika masa pendidikan pada pasien yang berstatus kaya. Oleh karena itu perhatian kepada rakyat miskin menjadi lebih wajib ketimbang rakyat yang berstatus kaya, karena mereka lebih mampu memilih pelayanan di mana saja walaupun dengan tariff lebih mahal. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dengan mutu dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau?
Saat ini kementerian Kesehatan masih mengakui ada sekitar 60% puskesmas di seluruh Indonesia tanpa keberadaan dokter. Dan Ikatan Dokter Indonesia mengakui hamper sebagian besar dokter lebih suka berkumpul di kota-kota besar. Bukan berarti IDI tidak melakukan pendistribusian secara merata, namun masalah yang muncul sekarang adalah banyaknya institusi-institusi pelayanan kesehatan swasta yang menjamur di kota-kota besar. Masing-masing institusi berlomba-lomba menawarkan salary yang sedikit atau jauh lebih besar ketimbang salary yang bisa diperoleh dokter di puskesmas atau institusi pelayanan milik pemerintah. Fenomena akan sisi pragmatis dokter yang sulit terbendung juga disebabkan oleh beban pendidikan yang luar biasa besar di fakultas kedokteran. Dengan salary yang dirasakan cukup, para dokter ini bekerja "lebih professional" karena konsekuensi manajemen di institusi dimana yang bersangkutan bekerja. Kesungguhan bekerja yang muncul karena dokter tidak lagi dibebankan akan masalah finansial kehidupan sehari-harinya, karena merasa telah tercukupi dari income tersebut.
Tidak meratanya keberadaan pelayanan ini tidak sepenuhnya disebabkan persoalan income, namun lebih kepada jaminan kesejahteraan tenaga kesehatan di daerah yang tidak sunguh-sungguh diperlihatkan oleh pemerintah. Tenaga kesehatan masih dikategorikan sebagai tenaga kerja murah bahkan kasarnya bisa disejajarkan dengan buruh yang penghasilannya harus lebih dari UMR yang ditetapkan. Hal yang tidak disadari oleh pemerintah akan beban kerja serta risiko yang setiap saat dihadapi oleh tenaga kesehatan terutama dokter.
Ketidakmerataan pelayanan seiring dengan permasalahan mutu pelayanan. Dengan paket jaminan yang digelontorkan pemerintah di bidang kesehatan, yang faktanya tidak sesuai amanah konstitusi yaitu sebesar 5% dari APBN, menyebabkan mutu pelayanan yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan anggaran yang ada. Paket pelayanan holistic yang terdiri dari preventif, promotif, kuratif, serta rehabilitatif pun semakin sulit dijalankan di tingkat institusi pelayanan milik pemerintah. Jangankan seluruh pelayanan, aspek kuratif yang terdiri dari diagnostic hingga penatalaksanaan pun masih jauh dari standar pelayanan kedokteran yang diharapkan.
Keberadaan alat-alat diagnostic sederhana yang seharusnya wajib tersedia di seluruh pelayanan tingkat primer pun masih sulit ditemui. Instrument penatalaksanaan termasuk di dalamnya obat-obatan yang efektif masih menjadi permasalahan yang sering ditemui oleh dokter umum. Padahal, diagnostic serta penatalaksanaan yang dapat dilaksanakan penuh di tingkat pelayanan primer dapat mencegah penggunaan anggaran lebih banyak ketika pasien harsu semuanya dirujuk ke tingkat pelayanan sekunder atau tersier.
Akibat dari semua hal di atas, yang jadi korban adalah masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik. Jika kondisi ini terus menerus terjadi tanpa ada jaminan di masa depan, maka misi mewujudkan rakyat Indonesia yang lebih sehat menjadi jauh panggang dari api. Visi ini menjadi lebih menakutkan jika terbukti pemerintah hanya memandang sebelah mata akan persoalan kesehatan masyarakat miskin dengan memutuskan premi atau jaminan yang lebih rendah dari yang pernah di wacanakan.

2 comments:

Tramudya. md said...

Artikel yg menarik

Tramudya. md said...

Artikel yg menarik